Dengan lahirnya UU 23/2014 kewenangan daerah khususnya kabupaten/kota semakin tereduksi. Semangat mendekatkan masyarakat pada akses pelayanan mesti digaungkan kembali dan jadi komitmen bersama.
Khususnya pada aspek/bidang kelautan dan perikanan sejak diberlakukannya UU itu maka seakan-akan kabupaten/kota tidak punya laut.
Mesti dipahami bersama bahwa Nelayan di kabupaten butuh tempat mengaduh atas segala persoalan terkait aktifitas melaut mereka dan ini pulalah yang menjadi tugas pemerintah sebagai pengayom. Bagai orang tua dan anak tidak boleh jauh dan UU 23/2014 bagai pagar pemisah antara keduanya.
Implikasi lain diberlakukannya UU tersebut adalah terjadinya perubahan struktur organisasi berikut tugas dan fungsinya pada aspek/bidang kelautan dan perikanan. Dinas Kelautan dan Perikanan berubah menjadi Dinas Perikanan yang secara sederhana dapat dipahami bahwa kabupaten hanya mengurus ikan yang telah ditangkap tapi tidak mengurus laut beserta aktifitas di dalamnya. Kalau pun ada sangatlah terbatas.
Pada aspek pengawasan pun mengalami kendala. Dengan kompleksitas permasalahan di laut dan wilayah pesisir mestinya pendekatan dan penangananya pun mesti kompleks dan secepat mungkin. Oleh karena itu jarak antara TKP persoalan dan 'problem solver' ataupun yang punya tugas/kewenangan pengawasan mesti dekat. Tentulah yang paling dekat adalah instansi terkait di Kabupaten/Kota.
Sebagai tindak lanjut dari implementasi UU Nomor 32 Tahun 2014 Tentang Kelautan dan UU No 1 tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil maka Pemerintah wajib melakukan upaya pengelolaan pesisir dan laut secara maksimal.
Jika sebelumnya kewenangan yang disebutkan di atas ada di kabupaten maka saat ini semua telah menjadi kewenangan provinsi Salah satu produk yang mesti dihasilkan dari UU No 1 Tahun 2014 dan UU 32 Tahun 2014 dan UU No 1 tahun 2014 itu adalah RZWP3K yang legitimasinya dalam bentuk PERDA provinsi.
Hal ini pun nantinya berhubungan dengan pengawasan dimana ZWP3K itu mesti jadi rujukan bersama dalam hal pemanfaatan ruang laut dan pesisir di Kabupaten. Tiap ruang laut dan pesisir telah dibagi berdasarkan berbagai analisa dan aspirasi masyarakat, pertanyaanya bagaimana mereka (baca: Nelayan) tahu berada pada zona yang mana saat melaut. Jangankan Nelayan, Instansi terkait di kabupaten pun kadangkala tidak memahami ZWP3K tersebut dan jika mereka paham pun mereka tidak punya kewenangan dalam hal pengawasan.
Khususnya pada aspek/bidang kelautan dan perikanan sejak diberlakukannya UU itu maka seakan-akan kabupaten/kota tidak punya laut.
Mesti dipahami bersama bahwa Nelayan di kabupaten butuh tempat mengaduh atas segala persoalan terkait aktifitas melaut mereka dan ini pulalah yang menjadi tugas pemerintah sebagai pengayom. Bagai orang tua dan anak tidak boleh jauh dan UU 23/2014 bagai pagar pemisah antara keduanya.
Implikasi lain diberlakukannya UU tersebut adalah terjadinya perubahan struktur organisasi berikut tugas dan fungsinya pada aspek/bidang kelautan dan perikanan. Dinas Kelautan dan Perikanan berubah menjadi Dinas Perikanan yang secara sederhana dapat dipahami bahwa kabupaten hanya mengurus ikan yang telah ditangkap tapi tidak mengurus laut beserta aktifitas di dalamnya. Kalau pun ada sangatlah terbatas.
Pada aspek pengawasan pun mengalami kendala. Dengan kompleksitas permasalahan di laut dan wilayah pesisir mestinya pendekatan dan penangananya pun mesti kompleks dan secepat mungkin. Oleh karena itu jarak antara TKP persoalan dan 'problem solver' ataupun yang punya tugas/kewenangan pengawasan mesti dekat. Tentulah yang paling dekat adalah instansi terkait di Kabupaten/Kota.
Sebagai tindak lanjut dari implementasi UU Nomor 32 Tahun 2014 Tentang Kelautan dan UU No 1 tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil maka Pemerintah wajib melakukan upaya pengelolaan pesisir dan laut secara maksimal.
Jika sebelumnya kewenangan yang disebutkan di atas ada di kabupaten maka saat ini semua telah menjadi kewenangan provinsi Salah satu produk yang mesti dihasilkan dari UU No 1 Tahun 2014 dan UU 32 Tahun 2014 dan UU No 1 tahun 2014 itu adalah RZWP3K yang legitimasinya dalam bentuk PERDA provinsi.
Hal ini pun nantinya berhubungan dengan pengawasan dimana ZWP3K itu mesti jadi rujukan bersama dalam hal pemanfaatan ruang laut dan pesisir di Kabupaten. Tiap ruang laut dan pesisir telah dibagi berdasarkan berbagai analisa dan aspirasi masyarakat, pertanyaanya bagaimana mereka (baca: Nelayan) tahu berada pada zona yang mana saat melaut. Jangankan Nelayan, Instansi terkait di kabupaten pun kadangkala tidak memahami ZWP3K tersebut dan jika mereka paham pun mereka tidak punya kewenangan dalam hal pengawasan.
0 comments:
Posting Komentar