TENTANG QAYLA


Namanya Qayla Aleeya Farhana, lahir dengan proses caesar di Klinik bersalin Bunda  Makassar pada tanggal 23 Mei 2011. Siapapun, sebagai orang tua mengharapkan anaknya lahir dengan proses normal namun takdir berkata lain. Saat itu ibundanya mengalami pecah ketuban dini, awalnya kami berkeras agar anak kami dilahirkan dengan cara normal walau Dokter telah menyarankan untuk operasi caesar.. 

Ibundanya memilih induksi untuk mempercepat  'pembukaan',  proses ini bukan hal yang mudah bagi isteri saya karena harus menahan rasa sakit yang luar biasa. Ternyata ikhtiar kami tidak berhasil, kami mulai panik cairan ketuban mulai kering dan akhirnya saya memaksakan diri untuk menelepon Dokter yang menangani.

Akhirnya kami pasrah menempuh jalan operasi caesar untuk menyelamatkan anak kami dan Ibundanya. Tidak berselang lama terdengarlah tangisan yang keras dari bilik operasi. Saya tidak mampu menahan rasa haru. AlhamduliLlah anak kami lahir sehat dengan berat 2,7 kg, kulitnya putih bersih seperti Ibundanya.

Anak yang baru berusia 3 bulan itu kami bawa berlayar mengarungi Selat Makassar dengan Kapal Pelni menuju Kabupaten Nunukan, tempat kami bertugas. Suka duka tentu saja mewarnai kehidupan kami dengan hadirnya buah hati kami itu. Ibundanya disamping harus merawat/menyusui anaknya juga harus membagi waktu melaksanakan tugas sebagai Dokter di Puskesmas.

Saat itu isteri saya masih berstatus CPNS dan tidak berselang lama harus mengikuti diklat prajabatan di BKD Nunukan. Kami menyewa rumah di dekat Mess Diklat BKD dan anak kami dijaga oleh seorang Pengasuh yang kami pekerjakan selama ini. Pada saat istirahat dan masa tertentu isteri saya menyempatkan waktu menyusui anak kami yang baru berusia 10 bulan itu. Sekali-kali si kecil dibawa ke Mess sehingga digelari peserta diklat ke 81.

Masa sulit kami hadapi saat anak kami itu mengalami demam dan diare. Bayangkan saja, betapa  gusarnya kami di saat anak kami itu semestinya dirawat oleh ibundanya selama 24 jam namun hanya dirawat oleh Pengasuh kami. Ibundanya hanya memonitor lewat HP dan sekali-kali 'curi-curi waktu ' untuk menjengut dan mengobati anaknya karena tidak bisa meninggalkan mess selama proses belajar berlangsung. Kami bahkan hampir saja membawa anak kami itu ke rumah sakit tapi alhamduliLlah kondisi kesehatannya mulai membaik walau semakin kurus.

Masa prajabatan isteri telah selesai dan kami kembali menjalani kehidupan normal/seperti biasanya. Si kecil sudah bisa merangkak dan menyebut kata 'Ummii', ia pun telah terbiasa dengan professi Ibundanya. Walau menangis di tengah malam pun Ibundanya harus keluar demi tugas negara, bahkan ketika sakit pun si kecil harus membagi waktu dengan pasien lainnya. Untungnya rumah dinas yang kami tempati berada di lingkungan Puskesmas. 

Pada waktu itu jumlah Puskesmas di Pulau Sebatik hanya 3 Unit dan Puskesmas Sungai Nyamuk adalah Puskesmas yang paling banyak pengunjungnya. Pasien yang harus ditangani hingga 100 orang per hari dengan jumlah Dokter hanya 2 orang. Hingga suatu waktu kondisi cuaca di Pulau Sebatik tidak menentu, jumlah pasien di Puskesmas Sungai Nyamuk membludak. Kebanyakan Pasien adalah anak-anak, beberapa diantara terkena DBD. 

Si Kecil ternyata juga mengalami demam tinggi, inilah kondisi kritis yang kami hadapi. Saat itu Dokter yang standby hanya isteri sendiri sehingga harus menangani 2 Unit Puskesmas sekaligus. Selang impus telah terpasang di tangan mungil si kecil sejak demam, kondisi demamnya naik turun dan tak menentu. Sementara itu, Pasien keluar masuk  silih berganti, HP senantiasa berdering tanpa kenal waktu. Demam Si Kecil semakin tinggi. Mengobati Pasien dan Anak sendiri adalah pilihan yang sulit, sisi kemanusian dan kepentingan pribadi berada pada kondisi dilematis. 

Kondisi Si kecil semakin melemah, sementara jumlah pasien sore itu tiada henti terus berdatangan. Telpon berdering dan perawat melaporkan ada pasien anak yang minta divisite, isteri hanya mampu memberi instruksi via HP dan meminta pengertian karena tengah menangani anaknya yang sedang kritis. Kami menyerah, isteri saya hanya manusia biasa yang tidak mampu membagi diri dan waktunya antara pasien dan anaknya sendiri. Sore itu kami memutuskan untuk membawah anak kami ke RSUD Nunukan. 

Mobil ambulance berlari kencang, suara sirine sepanjang jalan terus berbunyi hingga Pelabuhan Mantikas. Kami meminta supir ambulance menelepon ambulance untuk standby di seberang Pulau, di pelabuhan sedadap. Kami kecewa, ambulance tidak kunjung datang sementara kondisi KU si kecil semakin buruk. Kami kemudian memutuskan membawa anak kami ke RSUD dengan mobil angkutan (Pete'-pete'), nafas Si Kecil tinggal satu-satu, matanya semakin sayu, saya panik, sekali-kali saya menepuk pipi Si Kecil untuk memastikan Si kecil tidak kehilangan kesadaran. 

Kami meminta supir menambah laju kendaraanya, ternyata kecepatanya telah maksimal, kami hanya pasrah dan terus berdoa hingga sampailah kami di depan pintu gerbang RSUD Nunukan. Kami turun dari mobil dan berlari sambil memapah anak kami yang semakin lemah, perawat sesegara mungkin turun tangan. Anak kami telah tiada, tubuh kami lemas tidak berdaya, ibundanya pinsang seakan-akan tidak menerima takdir. 

"Apa salah kami tuhan?, kurangkah pengorbanan kami, Isteri dan anak kami selama ini, kurangkah waktu yang kami beri demi masyarakat?. Mungkin pengorbanan kami tiada lagi bernilai pahala dengan tulisan ini namun dengan tulisan ini, kami hanya ingin mengetuk pintu hati manusia", dalam hati.

Tapi tidak tuhan! nikmatmu dan keruniamu teramat banyak buat kami. Waktu adalah obat buat kami perlahan tapi pasti hingga kami sadar percaya Takdir itu Indah dan bersabar itu membuat kami lebih kuat. Apalah arti musibah ini dibandingkan saudara-saudara kami di belahan negeri sana.

Si kecil mungil itu telah pergi, pengabdiannya demi daerah perbatasan hingga akhir hayatnya, hingga tulisan belum selesai saya tak mampu lagi menulis  ...............Continue
  
Terima kasih pada semua pihak yang telah membantu kami saat musibah ini terjadi. 

0 comments: