ANTARA SYIAR ISLAM DAN MITOLOGI DULUNG

Dulung (Gelombang ke Arah Hulu Sungai Sebuku)

Sebatik: Juma’at; 14 Maret 2014
Pukul: 07.15 WITA
Pelepasan Kafilah Kecamatan Sebatik

Jum’at pagi yang cerah mengiringi agenda tahunan bagi kafilah MTQ dari tiap Kecamatan di Kabupaten Nunukan. Tasku dua buah telah terisi berbagai perlengkapan selama sepekan; baju batik dua lembar yang satu bermotif Kalimantan yang satunya lagi bermotif Sul-Sel telah terlipat rapi, Notebook, pakaian hari-hari secukupnya, perlengkapan mandi dst. Para calon peserta, pendamping, official telah berkumpul di masjid Tanjung Karang dalam rangka pelepasan kafilah oleh Camat Sebatik; Ir. Muhammad Sufyang

Mantikas – Pelabuhan Sungai Jepung: Pukul: 09.30 WITA s/d 10.30 WITA
Setelah pelepasan, bagaikan rombongan jama’ah haji dengan tas besarnya masing-masing Kafilah Sebatik pun menuju  Dermaga Mantikas dengan 2 bus sekolah dan mobil dinas kecamatan.  Dermaga Mantikas yang terbuat dari kayu itu seperti mau runtuh oleh sesaknya rombongan dan barang. Bagaimana tidak kafilah 5 Kecamatan di Pulau Sebatik semuanya berkumpul di ujung dermaga sembari berebutan naik ke atas kapal. Bukan hal yang mudah mengatur rombongan kafilah yang jumlahnya 50-an orang tiap kafilah, ditambah lagi beberapa diantaranya membawa serta anak mereka. Butuh waktu setengah jam untuk menurungkan barang-barang dan mengatur peserta hingga semua dipastikan telah naik kapal.

Pelabuhan Sungai Jepung: Pukul: 10.30 WITA s/d 01.30 WITA
Kapal Alidah Asyifah

Kapal Alidah Asyifah yang paling besar di antara kapal kafilah lain, membuat kafilah kami lebih bisa tersenyum sumringah dibandingkan kafilah lain, bahkan di antara kapal kafilah kecamatan lain ada yang hanya beratapkan terpal sehingga tidak terbayangkan bagaimana panasnya terik matahari siang itu. Butuh waktu 1 jam untuk sampai ke Pelabuhan Sungai jepung untuk mengurus administrasi pelayaran; waktu luang ini dimanfaatkan oleh rombongan untuk shalat jum’at. Perjalanan pun dilanjutkan melintasi perairan sebelah barat Pulau Nunukan dan menyusuri Sungai Sebuku; sungai yang terkenal dengan fenomena gelombang besar ini melahirkan legenda dan mitologis di tengah Masyarakat Sebuku yang populer dengan sebutan Dulung. Hal ini pulalah menjadi alasan bagi kapal-kapal kafilah yang hanya akan berlayar pada saat Dulung telah lewat.

Kafilah Sebatik  di atas Kapal Alidah Asyifah
bukan hal yang asing lagi bagi Masyarakat Nunukan tentang berbagai kejadian mewarnai fenomena dulung ini; gelombang besar yang konon kabarnya tiga lapis dengan ketinggian hingga empat meter, hingga informasi tentang tenggelamnya beberapa kapal dan hilang ditelan bumi menjadi legenda tersendiri bagi Masyarakat Nunukan. Dulung; kata yang asing dan tidak dikenal dalam kamus Bahasa Indonesia ini berasal dari Bahasa Tidung yang berarti gelombang besar, kalau di laut sebutannya Galur, dalam Bahasa Bugis sebutannya Bombang.

Perairan Nunukan – Sungai Sebuku – Kecamatan Sebuku: Pukul 01.30 WITA s/d  14.30 WITA
          Bagaikan kapal passompe tempo dulue, 5 kapal bering-iringan melintasi Sungai Sebuku yang berkelok-kelok. Setelah singgah sebentar di pos AL, perjalanan pun dilanjutkan. Awalnya semua berjalan lancar, tampak lambaian tangan kafilah lain atau sodoran buras dan kue dari kejauhan hanya sekedar basa-basi menghiasi perjalanan kami siang itu, hingga akhirnya kapal Kafilah Sebatik Utara macet. Kapal kami pun berubah haluan diikuti kapal kafilah lain untuk mengapit kapal yang beratapkan terpal itu. Alhasil kapal Kafilah Sebatik Utara tidak dapat melanjutkan perjalanan. Para kafilah Sebatik Utara pun harus pindah ke kapal lain dan barang-barang mereka ditampung di bawah palka kapal yang kami tumpangi.

         Sungai Sebuku dengan air yang berwarna coklat seperti MILO, vegetasi kiri kanan sungai yang terdiri dari berbagai jenis mangrove, dengan lebar sungai 1 s/d 2,5 Km pada daerah muara, dan 200 m s/d 250 meter pada daerah hulu. Arus sungai yang tidak terlalu kencang menandakan elevasi dasar sungai pada daerah muara dan hulu sungai tidak terlalu berbeda atau mungkin sama. Terkadang buaya muara nampak berjemur di kiri kanan sungai dan monyet belanda bergelantungan di pohon-pohon menghiasi perjalanan kami mirip program Adventure di TV.

         Perjalanan yang cukup melelahkan itu diiringi bunyi mesin kapal yang terus menderu sebagai tanda perjalanan kali ini berjalan lancar. Bagaimana tidak, diantara kapal yang ada; kapal ini yang paling sering macet. Tidak terbayangkan jika kapal macet pada saat dulung datang yang konon kabarnya pernah menenggelamkan kapal ponton di daerah Gunung Patak. Gunung Patak menjulang tinggi pada sisi kiri Sungai Sebuku dengan alur sungai yang berkelok tajam membuat semua kapal yang lewat harus bermanuver di daerah tersebut. Menurut info terdapat aktifitas penambangan emas di sekitar Gunung Patak membuatku berhipotesis; mungkinkah aliran Sungai Sebuku membawah partikel emas, pikiranku sudah mulai berimajinasi bebas dan mencoba mengusir rasa ngantuk. 13 jam telah berlalu hingga nampak dari kejauhan cahaya lampu Penduduk Kecamatan Sebuku dari kejauhan. Bertanda kafilah kami telah sampai di Kecamatan Sebuku.

Sebuku: 15 s/d 20 Maret 2014
Kafilah berpose di Depan Pemondokan

       Tepat pada pukul 14.35 WITA seluruh kafilah telah sampai ke pemondokannya masing-masing. Kafilah kami disambut dengan hidangan makan malam yang telah dihidangkan oleh tua rumah; menu utama adalah si udang bongkok alias udang gala merupakan makanan khas penduduk setempat. Selepas makan malam tidak ada agenda lain selain tidur; yang pria tidur di ruang tengah dan kamar tamu, yang perempuan tidur di kamar beserta anak-anak mereka. Karena kelelahan semuanya tertidur pulas diiringi alunan bunyi dengkuran bagai lagu bayati.

Hari-hari berikutnya; kegiatan MTQ tingkat Kabupaten Nunukan itu berjalan sebagaimana biasanya; mulai dari pembukaan oleh Bupati Nunukan, event-event pertandingan sesuai cabangnya masing-masing, hingga penutupan. Sepekan lamanya Kecamatan Sebuku seperti kota santri, jalan-jalan ramai dengan para kafilah berjilbab dan berkopiah, para ustadz dan ustadzah dengan berbagai latar belakang; baik yang berpola pikir ke NU-an maupun yang ke Muhammadiayah-an berbaur menjadi satu. Sungguh kegiatan MTQ  ini telah menjadi syiar bagi pengembangan ilmu Al-Quran dan Ke-Islaman. Jumlah peserta dari tahun ke tahun semakin bertambah; bahkan beberapa cabang yang sebelumnya tidak ada pesertanya telah terisi seperti cabang tafsir Al-Quran berbahasa Arab dan Inggeris, dan  Menulis Makalah Al-Quran (MMQ).   
Sungai Sebuku di depan Pemondokan

Pemondokan kami tepat berhadapan langsung dengan sungai sebuku menjadi hiburan sendiri bagi kafilah. Aktifitas dan kegiatan perekonomian Masyarakat Sebuku sangat bergantung pada akses transportasi sungai; supply barang dari nunukan, pengangkutan kayu, kelapa sawit dan batu bara. Kali ini Kafilah Sebatik harus bersabar dengan fasilitas seadanya; lampu yang sering mati, kamar mandi yang berpintukan tirai dan antrian panjang di depan WC. Namun asupan gizi teratur tiap harinya membuat berat badan kami bertambah mungkin hingga 1 kg.

 Hal yang paling merepotkan adalah pada saat “kebelet” mau ke belakang sehingga kadang kala kami mau tidak mau memanfaatkan WC di depan rumah yang septik tanknya sepanjang kurang lebih 90 km (Sungai Sebuku). WC yang terbuat dari kayu yang sudah lapuk yang hanya mampu menahan beban hingga 80 Kg, untunglah beratku hanya 75 Kg.  Suatu malam seperti biasanya; “jadwal rutinku ke belakang” tiba  namun karena tidak sabar mengantri sehingga saya memutuskan memanfaatkan WC di pinggiran sungai sebuku. Belum beberapa menit terdengar bunyi gemuruh bak tsunami, dinding WC terasa bergetar, membuatku tidak konsentrasi sehingga saya memutuskan cepat-cepat menyelesaikan agenda rutin malam itu. Rasa penasaranku baru terjawab pada saat sorotan senterku kuarahkan ke sungai; ternyata Dulung.

Sang Legenda malam itu mengagetkanku, sebuah mitologi yang bersumber dari fenomena alam yang mungkin tidak selaras dengan Syiar Islam dan Kajian Ilmiyah. Sungguh sulit merubah keyakinan masyarakat  setempat yang nota bene beragama Islam itu. Dimana tiap kali Dulung tiba diantar bak pengantin oleh speedboat hingga gelombang itu perlahan mengecil ke arah hulu. Jangankan masyarakat awam, di antara Ustadz yang berpikiran“ tradisional ” pun mungkin berkeyakinan sama dengan masyarakat setempat,  jika sang Dulung  tidak dijemput dan diantar maka akan merusak apa saja di pinggiran sungai. Pada saat saya berniat mengabadikan fenomena dulung itu dengan kameraku‘ terkadang sang Dulung tidak dimakan fhoto’  kata si Ustadz yang berdiri di sampingku. Begitulah bangsa ini penuh dengan khasanah budaya dan legenda. Sikap bijak yang harus diambil adalah menghargai dan menghormatinya. Mereduksi keyakinan yang dipengaruhi oleh mitologis dan budaya hingga selaras dengan aqidah yang lurus perlu upaya kreatif. Salah satunya dengan penjelasan secara ilmiyah dan bersifat edukatif. Sungguh benarlah ucapan orang bijak yang mengatakan ilmu tanpa agama adalah pincang dan agama tanpa ilmu adalah buta. Sebenarnya fenomena alam ini sangat layak untuk dipromosikan sebagai objek wisata. 

Menurut cerita masyarakat setempat. Suatu ketika seorang pemuda sedang mencari buruan, tiba-tiba ia mendengar suara beberapa perempuan yang sedang mandi. Ia pun melihat perempuan-perempuan itu yang sedang mandi. Semua wajah perempuan-perempuan itu sangatlah cantik bak bidadari. Ternyata memang benar, mereka adalah bidadari yang sedang turun ke bumi untuk mandi. Selendang para bidadari tersebut diletakan di bebetuan. Si pemuda itu mengambil salah satu selendang tersebut. Saat para bidadari telah selesai mandi, mereka semua segera bergegas untuk mengambil selendangnya agar bisa naik kembali ke kayangan. Satu orang dari bidadari tersebut tidak bisa naik ke kayangan sebab selendangnya diambil oleh si pemuda itu. Kemudian pemuda itu mengajaknya untuk pulang kerumahnya. Si ibu pemuda itu yang bernama Aki Betawol sangat terpesona dengan kecantikan si wanita tersebut. Sang pemuda itu pun akhirnya menikah dengan sang wanita. Aki Betawol suatu ketika meminta menantunya itu untuk menari. Awalnya menantunya tidak mau untuk melakukannya. Tapi Aki Betawol tetap memaksanya untuk menari. Menantunya kemudian meminta selendang yang disimpan ibunya, sebab tanpa selendang tersebut ia tidak bisa menari. Diberikanlah selendang tersebut kepada menantunya itu. Sang menantunya pun menari. Wajahnya bersinar. Lama kelamaan kakinya terangkat. Badan sang menantunya terus melayang. Pada saat itulah Aki Betawol baru mengetahui bahwa menantunya adalah bidadari. Sang pemuda pun mengejar istrinya yang terus melayang di udara bersama anaknya. Anaknya terus saja menangis. Kemudian, ditebaslah pohon kelapa sehingga jatuh mengenai sungai. Hal ini menyebabkan timbul gelombang. Anaknya sudah tidak menangis lagi ketika melihat gelombang tersebut. Gelombang tersebutlah  konon sampai sekarang dikenal dengan nama dulun.


Tipe Pasut Perairan Nunukan : Campuran; Condong ke Harian Ganda

Sebenarnya fenomena gelombang besar ini dapat dikaji secara ilmiyah.  Gelombang besar timbul oleh pengaruh Pasang Surut; Dulung terjadi beberapa saat ketika pasang dimana massa air dari laut mengalir masuk ke sungai sebuku. Pertemuan massa air laut dan arus sungai dari hulu menghasilkan momentum pada daerah tertentu. Menurut info masyarakat setempat, pertemuan dua jenis massa air tersebut di daerah Gunung Patak sehingga kadangkala gelombang besar terjadi pada daerah tersebut. Gelombang tersebut kemudian merambat menyusuri sungai hingga ke hulu dimana elevasi dasar sungai pada bagian hulu tersebut lebih rendah pada saat terjadi pasang. Baru pertama kali saya melihat ada arus sungai kadang mengalir ke muara dan kadang ke hulu walaupun hal ini sudah lazim di beberapa sungai di daerah lain.  Dulung terjadi dua kali sehari karena tipe Pasut di perairan Nunukan adalah Semi Diurnal (dua kali pasang dua kali surut secara berurutan dengan periode adalah 12 jam 54 menit).  

Kamis; 20 Maret 2014
Akhirnya tibalah saatnya penutupan MTQ ke X tingkat Kabupaten Nunukan di Kecamatan Sebuku. Kafilah Kecamatan Sebatik kembali merebut posisi kedua setelah Kecamatan Nunukan. Berbagai suka-duka, canda tawa dan cerita-cerita sumbang pun berakhir di Muara Sungai Sebuku. Sampai Jumpa di MTQ ke XI tingkat Kabupaten Nunukan di Kecamatan Sebatik Timur. Wassalam









0 comments: