MEMAHAMI PH TAMBAK

Di dunia perikanan, kualitas air adalah salah satu topik perbincangan yang didiskusikan setiap saat. Bagaimana tidak, kualitas air menentukan apakah hewan yang sedang dibudidaya akan tumbuh dengan baik atau tidak.

Di lapangan, khususnya tambak, kadangkala dirasa sudah kenal dekat dengan berbagai parameter kualitas air. Namun, apakah benar sudah betul-betul mengenalnya? Contohlah salah satu para parameter kualitas air, yakni pH.

Skala pH pertama kali dikenalkan oleh Søren Peder Lauritz Sørensen, seorang ahli kimia dari Belanda, pada tahun 1909. Saat itu, ia sedang mencari cara mengukur keasaman bir dalam proses fermentasi. Skala yang diciptakan oleh Sørensen disebut skala pH (singkatan dari power of hydrogen) dan mendeskripsikan konsentrasi ion H+ dalam air.

Dari gambar dapat dilihat bahwa ion H+ terdapat dalam jumlah banyak pada pH rendah. Pada pH tinggi, ion H+ terdapat dalam jumlah sedikit. Sementara itu pada pH netral, ion H+ berada dalam jumlah yang sebanding dengan ion OH-. Dari gambar tersebut, dapat dilihat juga bahwa kenaikan 1 unit pH menandakan penurunan sebanyak konsentrasi ion H+ (tanda [H+]) sebanyak 10 kali lipat, 2 derajat 100 kali lipat, dan seterunsnya. Dengan demikian, perbedaan pH sebanyak 1.5 (101.5 = 31 kali lipat) merupakan perbedaan yang cukup jauh.


pH dan tambak
Pengukuran pH dapat menggunakan kertas lakmus, kertas pH ataupun dengan pH meter. pH air optimum untuk budidaya berkisar antara 7.2-8.8, dengan rentang fluktuasi antara siang dan malam sebesar 0.5.

Dalam tambak, kondisi pH dipengaruhi oleh beberapa hal. Yakni yang pertama adalah tanah, seperti air, memiliki tingkat keasaman yang disebabkan oleh senyawa kimia dan organik yang terkandung di dalamnya. Pada kolam yang berlandaskan tanah, tanah dapat melepaskan zat-zat kimia ke dalam kolom air. Materi organik dalam tanah dapat membusuk dan membentuk asam organik yang dapat  meresap ke dalam air, menurunkan pH air. Tanah berkapur dapat melepaskan zat kapur, yang menaikkan pH air.

Kondisi pH juga dipengaruhi karbon dioksida. Karbon dioksida dapat larut dalam air dan bereaksi membentuk asam karbonat (H2CO3). Selain itu, pengaruh lainnya adalah mikroalga. Organisme ini adalah tumbuhan mikroskopis dalam air yang mendapatkan makanannya melalui proses fotosintesis, mengubah karbon dioksida menjadi gula menggunakan cahaya matahari. Dalam hal ini, alga menyerap karbon dioksida, mengurangi jumlah asam karbonat dalam air.

Selain itu, pembusukan bahan organik juga berpengaruh pada kondisi tambak udang. Bahan organik dalam tambak termasuk alga yang mati, sisa pakan dan kotoran udang jatuh ke dasar, menumpuk dan membusuk. Proses pembusukan ini dibantu oleh bakteri. Dalam kondisi kurang oksigen, pembusukan berlangsung secara anaerobik (tanpa oksigen), menghasilkan asam organik yang dapat larut dalam air.

Perubahan pH yang drastis dalam waktu singkat dapat menyebabkan udang stres, sehingga menyebabkan turunnya nafsu makan dan melemahnya sistem imun, kemudian udang menjadi rentan penyakit. Dalam jangka panjang, pH air yang tidak optimal akan menyebabkan pertumbuhan yang tidak optimal dan menyebabkan kematian, menghasilkan nilai SR rendah dan FCR membengkak.

Contohnya, jika pH kurang dari 6.0 menandakan kadar kalsium yang rendah dalam air, menyebabkan soft-shell syndrome. Dalam budidaya, pH yang tinggi (8.5 >) juga bersifat tidak optimal menyebabkan stres dan hilangnya nafsu makan. Dan jika pH tinggi, dapat meningkatkan kadar ammonia terlarut dalam air, sehingga dapat mencapai kadar berbahaya untuk udang.

 https://efarm.efishery.com/blog/ph-air-tambak-udang/

 PH Air

 

0 comments: