Analisis SIG Lahan Kelapa Sawit di Kec. Sebatik |
Dari hasil kegiatan penyediaan data spasial kondisi sosial, ekonomi masyarakat Sebatik diketahui bahwa masyarakat Sebatik pada umumnya berada pada level ekonomi menengah ke bawah dimana 77,5 persen berprofesi sebagai Petani, 3,8 persen berprofesi sebagai Wiraswasta, 3,0 persen berprofesi sebagai Pegawai negeri dan 15,7 persen berprofesi sebagai Nelayan.
Dari data di atas menunjukkan bahwa masyarakat Sebatik adalah masyarakat agraris yang menggantungkan perekonomian dari hasil pertanian, dengan kata lain ketersediaan lahan merupakan salah satu faktor penunjang kegiatan perekonomian di Kecamatan Sebatik. Saat ini luas Perkebunan Kelapa Sawit sekitar 54,3 Persen (2798,5 Ha) dari Luas wilayah Kecamatan Sebatik (5149,7 Ha). Pola panen bersifat tradisional; dipetik sendiri atau menggunakan jasa petik dalam jumlah tenaga kerja terbatas (Jasa petik; 50 ringgit/ton) dimana pemasaran hasil panen bersifat tradisional, melalui pengumpul yang akan mengangkut dan membeli langsung di titik produksi. Oleh karena itu aksebilitas mempengaruhi harga dimana harga kelapa sawit pada lahan yang jauh dari jalan utama lebih murah (270 ringgit/ton) dari harga pada lahan yang dekat dengan jalan utama (290 ringgit/ton). Hasil panen kelapa sawit akan naik seiring dengan umur tanaman dimana perkiraanya: Tahun ke 6 - 10 => 1,2 Ton - 1,5 Ton per Ha/Bln & Tahun ke 11 - 15 => 1,6 Ton - 2,5 Ton per Ha/Bln . Umur lahan kelapa sawit di Kecamatan Sebatik rata-rata antara 6 s/d 10 tahun. Dari sini dapat diestimasi nilai ekonomi dari potensi kelapa sawit di Kecamatan Sebatik adalah 2798,5 Ha x Rp.1.008.000(1RM=Rp.3600) x 1,35Ton = Rp.3.808.198.800/Bln
Kebun Kelapa Sawit: Image Foto Udara 2014 |
Profit orientate dan trend ekonomi yang berkembang memicu perubahan fungsi lahan secara radikal. Trend ekonomi yang dimaksud dan kaitannya dengan perubahan fungsi lahan adalah berubahnya peruntukan lahan perkebunan kakao, lahan persawahan, dll ke perkebunan kelapa sawit dengan alasan hasil perkebunan kelapa sawit lebih menjanjikan dari hasil perkebunan kakao dan tanaman lainnya. Kondisi ini sangat dilematis; motif ekonomi dan kepentingan ekologis bagaikan dua sisi mata uang yang saling bertolak belakang.
Tidak dapat dimungkiri Perkebunan kelapa sawit memberi kontribusi terhadap ketahanan ekonomi masyarakat Sebatik, di sisi lain aspek pelestarian hutan menjadi tumbal. Hutan sebagai reservoir (cadangan air) dan sebagai hunian biodiversity telah musnah tergantikan oleh sang dominator (baca; Kelapa Sawit). Istilah Genosida (andai saja hutan bisa menjerit & menangis) mungkin tidaklah berlebihan; menggambarkan pemusnahan hutan telah terjadi secara massif dimana penataan ruang lebih bersifat Procedur above Substance. Substansi; pembangunan ekonomi berbasis lingkungan hanya termuat dalam laporan tebal beratus-ratus halaman dengan lampiran peta warna – warni lebih beroentasi pada pemenuhan kewajiban prosedural. Kenyataannya Pemerintah bagai tak punya taji di hadapan pemilik lahan. “tanah milik saya, mau tanam apa saja terserah saya” kata pemilik lahan. Istilah nasi sudah jadi bubur menggambarkan policy yang mau tidak mau diadaptasi melalui regulasi yang semestinya dijalankan secara konsisten. Ruang hijau harus tetap dipertahankan, penetapan hutan lindung semestinya diikuti penegakan hukum yang bersifat persuasif dan refresif.
Sumber data & Referensi:
Sumber data & Referensi:
- (http://informasi-kelapasawit.blogspot.com/2013/03/hitung-biaya-kebun-kelapa-sawit.html)
- Hasil Analisis Citra Quick Bird Pulau Sebatik
- Hasil Ground Check di wilayah Kecamatan Sebatik
1 comments:
http://www.rsgis.org/2015/02/membagi-polygon-luasan-sama-arcgis.html
Posting Komentar