Tonrong E
(Catatan Santri: Penjara Suci, Fanorama Alam dan Kalasimetri Tahun Angkatan 94/97).
Late post: Selamat Hari Santri. Ciri-ciri orang sudah tua adalah suka mengenang masa lalu.
(Catatan Santri: Penjara Suci, Fanorama Alam dan Kalasimetri Tahun Angkatan 94/97).
Late post: Selamat Hari Santri. Ciri-ciri orang sudah tua adalah suka mengenang masa lalu.
Tonrong E adalah bagian dari kenangan kami saat sekolah di Tsanawiyah DDI Mangkoso. Dari kejauhan nampak berdiri kokoh Masjid Ahlusshufa di puncak bukit Tonrong E. Di Masjid inilah tiap hari kami bersimpuh dan duduk bersilah dengan kitab kuning di pangkuan kami. Tak satupun yang berani berbicara satu sama lain kecuali seperlunya saja. Beberapa diantaranya fokus menyimak pembahasan kitab, ada juga yang mengangguk-angguk seperti orang khusyu padahal sedang menahan rasa ngantuk.
Ponpes ini boleh dikata merupakan basis terbesar di Sul Sel untuk pendidikan keislaman dengan corak ke_ Nu_an. Ponpes yg bermazhab imam syafii ini masih memelihara kurikulum dan referensi kitab2 klasik tentang fiqih, hadits, qur'an, tauhid, sastra arab, tafsir, tasawwuf (sufisme) bahkan filsafat. Salah satu mata pelajaran yg diajarkan di ponpes tradisional ini adalah ilmu mantik, Ilmu yg tidak semua ulama membolehkannya seperti Imam Nawawi yg pada dasarnya mengharamkan filsafat.
Ponpes ini boleh dikata merupakan basis terbesar di Sul Sel untuk pendidikan keislaman dengan corak ke_ Nu_an. Ponpes yg bermazhab imam syafii ini masih memelihara kurikulum dan referensi kitab2 klasik tentang fiqih, hadits, qur'an, tauhid, sastra arab, tafsir, tasawwuf (sufisme) bahkan filsafat. Salah satu mata pelajaran yg diajarkan di ponpes tradisional ini adalah ilmu mantik, Ilmu yg tidak semua ulama membolehkannya seperti Imam Nawawi yg pada dasarnya mengharamkan filsafat.
Para santri tidak hanya dituntut memiliki kemampuan logis matematis tuk beberapa mata pelajaran seperti ilmu faraid, ilmu nahwu dan pelajaran umum, tpi juga daya ingat yg kuat. Selain Al_Quran Hadist beberapa mata pelajaran memiliki bait syair yang harus dihapalkan seperti Al_fiyathu Ibnu Malik, dst. Metode pembelajaran ini masih bertahan hingga kini.
Di antara semua pembina kami, sosok yang tak pernah lekang di ingatan kami adalah Gurruta KH.Abd.Wahab Zakaria, MA yang merupakan pimpinan kampus I TonrongE. Watak beliau tegas dan berwibawa namun sangatlah bijak. Beliau mendidik kami menjadi sosok yang 'mandiri dan tahan banting'. Padahal para Santri berasal dari keluarga dengan berbagai tingkat ekonomi, dari yang kurang mampu hingga kalangan 'borjuis'. Semua mesti merasakan 'kondisi' yang sama dan bukan hal yg mudah bagi kami yg masih tergolong belia.
Dulu saya punya pondok di tonrongE, tepatnya di sebelah utara di kaki bukit dimana Masjid Ahlusufa berdiri megah dipuncaknya. Pondok tersebut walau terbilang sederhana tapi cukup kokoh karena terbuat dari kayu jati. Saat itu orang tua santri diperbolehkan membuat pondok bagi anak mereka. Jika santri pemilik pondok tersebut tamat maka akan 'diwariskan' kepada santri lain yang masih keluarga atau kepada siapapun setelah proses negosiasi, karena pondok-pondok tersebut telah diwakafkan kepada pengelolah ponpes. Tahun pertama di bukit ini belum ada listrik, yang ada hanya pelita yang sering mati ditiup angin.
Kiru-kiru adalah desa yang tak jauh dari bukit ini. Untuk sampai ke desa ini ada dua jalan: lewat jalan utama melalui pintu gerbang atau lewat pematang sawah. Pintu gerbang dijaga ketat oleh santri yang bertugas picket dan terdapat kawat berduri yang jadi batas antara lahan kampus dan lahan persawahan milik warga. Di desa ini terdapat sungai yang airnya jernih dan tak pernah kering disebut cincingE, terdapat pula tujuh buah sumur yang kedalamannya hanya setengah meter disebut bubung pituE. Di tempat inilah kami biasa mandi, ambil air sambil sekali-kali melirik gadis desa yang sedang mencuci.
Keterbatasan sumber air di kampus membuat pihak pembina kadangkala memberi toleransi bagi santri untuk turun bukit khususnya pada saat sore. Hal ini kadang dimanfaatkan oleh santri yang 'kalasi' (baca: badung atau bandel) untuk pulang kampung dengan pura-pura membawa cucian, padahal yang dibawa pakaian bersih atau pura-pura mau ambil air dengan jergen di tangan. Jika sudah aman barulah si santri ganti baju dan menyimpan jergen mereka di rumah warga. Selanjutnya santri itu melenggang jauh dari kampus dan sepekan baru kembali. Beberapa di antaranya bahkan tidak lagi kembali.
Begitulah seleksi alam berlaku di tempat ini. Beberapa diantaranya 'gugur' dengan berbagai sebab dan alasan, ada yang tidak sanggup menghafal, ada yang tidak bisa 'menderita' karena mesti masak sendiri, cuci baju sendiri, ambil air yang jaraknya jauh dari pondok. Ada juga yang tidak tahan dengan pola pembinaan ala 'militer', dsb.
Tiada TV apalagi HP, kami hanya menikmati kicauan burung di pagi hari, suara jangkrik di malam hari dan serial sandiwara radio. Kadangkala kami mesti menerobos penjagaan ketat petugas Satpam yang konon pensiunan tentara. Perlahan tapi pasti kami menyusuri pematang sawah demi menonton serial drama Pendekar Rajawali yang merupakan siaran unggulan indosiar selepas shalat isya. Kami berebutan duduk paling depan, terlambat sedikit tidak kebagian tempat dan mesti berdesak desakan dengan santri lain. Kadangkala kami lari tunggang langgang jika ada patroli dari pihak kampus.
Selain itu kami sering refressing selepas sekolah atau saat hari libur di air terjun Parakajo E. Air terjun ini terletak sebelah timur bukit Tonrong E. Untuk sampai ke sini pun harus melewati pematang sawah dan menyusuri sungai. Di sisi kanan kiri sungai terdapat hutan lebat dengan monyet yang bergelantungan di dahan pohon, kadangkala mereka turun berebut pisang atau makanan yang kami bawa. Kami berenang sepuasnya, sekali-sekali melompat dari batu yang paling tinggi di sisi sungai. Tidak jarang ada santri yang nekad bermalam di sekitar air terjun ini. Entah apa maksud mereka, ingin uji nyali atau hanya sekedar ingin menikmati sentuhan hutan belantara di malam hari.
Hari kamis adalah hari yang paling dinanti karena hari juma'at adalah hari libur. Pada hari kamis pihak pembina memberi keleluasaan untuk kami keluar kampus untuk bermalam di rumah sanak keluarga, yang penting bisa kembali keesokan harinya, paling lambat sore hari. Beberapa di antaranya tetap di kampus dan diberi izin ke pasar pada hari Jum'at dengan menggunakan mobil 'pete-pete'. Pasar ini penuh sesak oleh warga dan juga para santri dan santriwati. Kalau di sekolah umum para siswa dan siswi sudah terbiasa berbaur, kalau kami hanya ketemu di pasar atau saat moment tertentu.
Konon bukit Tonrong E dulu angker sebelum dibuka untuk lahan pemukiman bagi Santri Putra. Mungkin tempat ini dulu sebagai basis perang gerilya selain Pacekke. Saat aktif di Pramuka kami pernah melakukan tapak tilas ke Pacekke. Kami berjalan kaki menyusuri jalan yang terjal sambil membayangkan sulitnya perjuangan orang-orang terdahulu kita meraih kemerdekaan. Entah kenapa tempat ini disebut Pacekke padahal tempat ini tidaklah sedingin Malino. Mungkin karena air sungai di tempat ini sangat sejuk di pagi hari. Di tempat ini terdapat monumen yang dibangun untuk mengenang perjuangan Andi Mattalatta. Seorang pahlawan kebanggaan Masyarakat Barru.
Waktu terus berlalu kenangan di 'penjara suci' itu salah satu moment yg paling membekas dalam ingatan. Boleh dikata pelajaran yg kami dapatkan jadi pondasi cara berpikir tentang berbagai perspectif keberislaman yg semakin variatif. Para alumnus ponpes ini telah menyebar seantero nusantara dn berkiprah di berbagai sektor dengan profesinya masing2. Semoga 'berkah' dari doa pendiri ponpes ini tetap bersemayam dlm diri kami. Amin..
To Be Continued
1. Masjid Ahlussufah:
https://goo.gl/maps/ CS4PjDbPE8r
2. Sungai kiru-kiru:
https://goo.gl/maps/ WsRan2nZTVq
3. Monumen Paccekke:
https://maps.google.com/ ?cid=12682462350402790990&h l=in&gl=id
4. Air Terjun Parakajo E:
https://goo.gl/maps/ 8eN7bjMpFN42
Di antara semua pembina kami, sosok yang tak pernah lekang di ingatan kami adalah Gurruta KH.Abd.Wahab Zakaria, MA yang merupakan pimpinan kampus I TonrongE. Watak beliau tegas dan berwibawa namun sangatlah bijak. Beliau mendidik kami menjadi sosok yang 'mandiri dan tahan banting'. Padahal para Santri berasal dari keluarga dengan berbagai tingkat ekonomi, dari yang kurang mampu hingga kalangan 'borjuis'. Semua mesti merasakan 'kondisi' yang sama dan bukan hal yg mudah bagi kami yg masih tergolong belia.
Dulu saya punya pondok di tonrongE, tepatnya di sebelah utara di kaki bukit dimana Masjid Ahlusufa berdiri megah dipuncaknya. Pondok tersebut walau terbilang sederhana tapi cukup kokoh karena terbuat dari kayu jati. Saat itu orang tua santri diperbolehkan membuat pondok bagi anak mereka. Jika santri pemilik pondok tersebut tamat maka akan 'diwariskan' kepada santri lain yang masih keluarga atau kepada siapapun setelah proses negosiasi, karena pondok-pondok tersebut telah diwakafkan kepada pengelolah ponpes. Tahun pertama di bukit ini belum ada listrik, yang ada hanya pelita yang sering mati ditiup angin.
Kiru-kiru adalah desa yang tak jauh dari bukit ini. Untuk sampai ke desa ini ada dua jalan: lewat jalan utama melalui pintu gerbang atau lewat pematang sawah. Pintu gerbang dijaga ketat oleh santri yang bertugas picket dan terdapat kawat berduri yang jadi batas antara lahan kampus dan lahan persawahan milik warga. Di desa ini terdapat sungai yang airnya jernih dan tak pernah kering disebut cincingE, terdapat pula tujuh buah sumur yang kedalamannya hanya setengah meter disebut bubung pituE. Di tempat inilah kami biasa mandi, ambil air sambil sekali-kali melirik gadis desa yang sedang mencuci.
Keterbatasan sumber air di kampus membuat pihak pembina kadangkala memberi toleransi bagi santri untuk turun bukit khususnya pada saat sore. Hal ini kadang dimanfaatkan oleh santri yang 'kalasi' (baca: badung atau bandel) untuk pulang kampung dengan pura-pura membawa cucian, padahal yang dibawa pakaian bersih atau pura-pura mau ambil air dengan jergen di tangan. Jika sudah aman barulah si santri ganti baju dan menyimpan jergen mereka di rumah warga. Selanjutnya santri itu melenggang jauh dari kampus dan sepekan baru kembali. Beberapa di antaranya bahkan tidak lagi kembali.
Begitulah seleksi alam berlaku di tempat ini. Beberapa diantaranya 'gugur' dengan berbagai sebab dan alasan, ada yang tidak sanggup menghafal, ada yang tidak bisa 'menderita' karena mesti masak sendiri, cuci baju sendiri, ambil air yang jaraknya jauh dari pondok. Ada juga yang tidak tahan dengan pola pembinaan ala 'militer', dsb.
Tiada TV apalagi HP, kami hanya menikmati kicauan burung di pagi hari, suara jangkrik di malam hari dan serial sandiwara radio. Kadangkala kami mesti menerobos penjagaan ketat petugas Satpam yang konon pensiunan tentara. Perlahan tapi pasti kami menyusuri pematang sawah demi menonton serial drama Pendekar Rajawali yang merupakan siaran unggulan indosiar selepas shalat isya. Kami berebutan duduk paling depan, terlambat sedikit tidak kebagian tempat dan mesti berdesak desakan dengan santri lain. Kadangkala kami lari tunggang langgang jika ada patroli dari pihak kampus.
Selain itu kami sering refressing selepas sekolah atau saat hari libur di air terjun Parakajo E. Air terjun ini terletak sebelah timur bukit Tonrong E. Untuk sampai ke sini pun harus melewati pematang sawah dan menyusuri sungai. Di sisi kanan kiri sungai terdapat hutan lebat dengan monyet yang bergelantungan di dahan pohon, kadangkala mereka turun berebut pisang atau makanan yang kami bawa. Kami berenang sepuasnya, sekali-sekali melompat dari batu yang paling tinggi di sisi sungai. Tidak jarang ada santri yang nekad bermalam di sekitar air terjun ini. Entah apa maksud mereka, ingin uji nyali atau hanya sekedar ingin menikmati sentuhan hutan belantara di malam hari.
Hari kamis adalah hari yang paling dinanti karena hari juma'at adalah hari libur. Pada hari kamis pihak pembina memberi keleluasaan untuk kami keluar kampus untuk bermalam di rumah sanak keluarga, yang penting bisa kembali keesokan harinya, paling lambat sore hari. Beberapa di antaranya tetap di kampus dan diberi izin ke pasar pada hari Jum'at dengan menggunakan mobil 'pete-pete'. Pasar ini penuh sesak oleh warga dan juga para santri dan santriwati. Kalau di sekolah umum para siswa dan siswi sudah terbiasa berbaur, kalau kami hanya ketemu di pasar atau saat moment tertentu.
Konon bukit Tonrong E dulu angker sebelum dibuka untuk lahan pemukiman bagi Santri Putra. Mungkin tempat ini dulu sebagai basis perang gerilya selain Pacekke. Saat aktif di Pramuka kami pernah melakukan tapak tilas ke Pacekke. Kami berjalan kaki menyusuri jalan yang terjal sambil membayangkan sulitnya perjuangan orang-orang terdahulu kita meraih kemerdekaan. Entah kenapa tempat ini disebut Pacekke padahal tempat ini tidaklah sedingin Malino. Mungkin karena air sungai di tempat ini sangat sejuk di pagi hari. Di tempat ini terdapat monumen yang dibangun untuk mengenang perjuangan Andi Mattalatta. Seorang pahlawan kebanggaan Masyarakat Barru.
Waktu terus berlalu kenangan di 'penjara suci' itu salah satu moment yg paling membekas dalam ingatan. Boleh dikata pelajaran yg kami dapatkan jadi pondasi cara berpikir tentang berbagai perspectif keberislaman yg semakin variatif. Para alumnus ponpes ini telah menyebar seantero nusantara dn berkiprah di berbagai sektor dengan profesinya masing2. Semoga 'berkah' dari doa pendiri ponpes ini tetap bersemayam dlm diri kami. Amin..
To Be Continued
1. Masjid Ahlussufah:
https://goo.gl/maps/
2. Sungai kiru-kiru:
https://goo.gl/maps/
3. Monumen Paccekke:
https://maps.google.com/
4. Air Terjun Parakajo E:
https://goo.gl/maps/
0 comments:
Posting Komentar