1

(By Nelayan Tanjung Karang; Pantai kayu Angin,16 Nopember 2014)

     
      Pesta Laut diselenggarakan oleh Masyarakat Nelayan Sebatik bekerja sama dengan TNI Angkatan Laut dan difasilitasi oleh pihak Kantor Camat Sebatik. Pesta laut yang dihadiri oleh Bupati Nunukan ini diselenggarakan di Pantai Kayu Angin Desa Tanjung Karang pada tanggal 16 Nopember 2014 bertemakan "Laut Sumber Kehidupan". Rangkaian acara berupa: Perahu Hias, Drum Band, Upacara Pelarungan Walasuji ke perairan batu lamampu dan door prize.



    Wala suji berasal dari kata wala yang artinya pemisah/pagar/penjaga dan suji yang berarti putri. Wala Suji adalah sejenis pagar bambu dalam acara ritual yang berbentuk belah ketupat. Sulapa eppa (empat sisi) adalah bentuk mistis kepercayaan Bugis-Makassar klasik yang menyimbolkan susunan semesta, api-air-angin-tanah. kepercayaan ini masih berkembang di tengah Masyarakat Pulau Sebatik yang sebagian besar bersuku Bugis-Makassar. 



    Konsep segi empat pada Wala Suji ini, berpangkal pada kebudayaan orang Bugis-Makassar yang memandang alam raya sebagai sulapaq eppaq wala suji (segi empat belah ketupat). Menurut almarhum Prof DR Mattulada, budayawan Sulawesi Selatan yang juga guru besar Universitas Hasanuddin, Makassar, konsep tersebut ditempatkan secara horizontal dengan dunia tengah. Dengan pandangan ini, masyarakat Bugis-Makassar memandang dunia sebagai sebuah kesempurnaan.



       Kesempurnaan yang dimaksud meliputi empat persegi penjuru mata angin, yaitu timur, barat, utara, dan selatan. Secara makro, alam semesta adalah satu kesatuan yang tertuang dalam sebuah simbol aksara Bugis-Makassar, yaitu sa ( # ) yang berarti seua, artinya tunggal atau esa. Begitu pula secara mikro, manusia adalah sebuah kesatuan yang diwujudkan dalam sulapaq eppaq. Berawal dari mulut manusia segala sesuatu dinyatakan, bunyi ke kata, kata ke perbuatan, dan perbuatan mewujudkan jati diri manusia. Dengan demikian, Wala Suji dalam dunia ini, dipakai sebagai acuan untuk mengukur tingkat kesempurnaan yang dimiliki seseorang. Kesempurnaan yang dimaksud itu adalah kabara-niang (keberanian), akkarungeng (kebangsawanan), asugireng (kekayaan), dan akkessi-ngeng (ketampanan/kecantikan).




       Sekilas uraian tentang Wala Suji di atas menggambarkan bahwa sebuah budaya hanya akan jadi ritual belaka jika tidak dibarengi dengan pemahaman logis dan pentingnya mengintrodusir kemasan tradisi menjadi lebih modernis. Ritual berupa pelarungan Wala Suji ke tengah laut mungkin akan jadi polemik di tengah masyarakat yang beragam pola pikir. Makna simbolis semestinya tidak hanya jadi justifikasi namun perlu sebuah langkah yang lebih bijak dalam rangka melestarikan budaya menjadi lebih acceptable bagi yang menjunjung tinggi kemurnian agama. Agama dan budaya tidaklah seperti minyak dan air yang tak mungkin bersinergi namun budaya yang dipoles dengan prinsip modernitas dan logis lebih bisa sustainable (Baca;lestari) daripada budaya yang terpaku pada corak tradisionalis dan praktek mitologis. Contoh sederhana; baju bodo(untuk wanita) dulunya sangat transparan, namun seiring perkembangan modernisasi busana tradisional saat ini lebih tertutup dan tidak transparan lagi.
      Kedepan kegiatan ini akan dapat menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan domestik bahkan mancanegara jika dikemas dalam bentuk kreasi yang lebih beragam, seperti lomba layang-layang, lomba perahu dayung, bakti bahari dll.




0 comments: